Thursday, May 3, 2007

Di Balik Kelembutan Suaramu


Banyak wanita di zaman ini yang merelakan
dirinya menjadi komoditi.
Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi
barang dagangan, suaranya
pun bisa mendatangkan banyak rupiah
 
Ukhti Muslimah….
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita
terlalu sering kita
dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung
atau lewat radio dan
televisi. Terlebih lagi bila wanita itu
berprofesi sebagai penyiar
atau MC karena memang termasuk modal
utamanya adalah suara yang indah
dan merdu.
 
Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan
suaranya yang bak
buluh perindu, tanpa ada rasa takut
kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Padahal Dia telah memperingatkan:
"Maka janganlah kalian merendahkan suara
dalam berbicara sehingga
berkeinginan jeleklah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang ma'ruf." (Al Ahzab: 32)
 
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
juga telah bersabda :
"Wanita itu adalah aurat, apabila ia
keluar rumah maka syaitan
menghias-hiasinya (membuat indah dalam
pandangan laki-laki sehingga ia
terfitnah)". (HR. At Tirmidzi, dishahihkan
dengan syarat Muslim oleh
Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam
Ash Shahihul Musnad, 2/36).
 
Suara merupakan bagian dari wanita sehingga
suara termasuk aurat,
demikian fatwa yang disampaikan Asy Syaikh
Shalih bin Fauzan bin
Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah
bin Abdirrahman Al Jibrin
sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa
Al Mar'ah Al Muslimah (1/ 431,
434)
 
Para wanita diwajibkan untuk menjauhi setiap
perkara yang dapat
mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia
memperdengarkan suaranya,
kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki,
maka seharusnya ia
menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para
wanita diperintahkan
untuk tidak mengeraskan suaranya ketika
bertalbiyah1. Ketika
mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya,
wanita tidak boleh
memperdengarkan suaranya dengan bertashbih
sebagaimana laki-laki,
tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana
tuntunan Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam:
"Ucapan tashbih itu untuk laki-laki sedang
tepuk tangan untuk wanita".
(HR. Al Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422)
 
Demikian pula dalam masalah adzan,
tidak disyariatkan bagi wanita
untuk mengumandangkannya lewat
menara-menara masjid karena hal itu
melazimkan suara yang keras.
 
Ketika terpaksa harus berbicara dengan
laki-laki dikarenakan ada
kebutuhan, wanita dilarang melembutkan
dan memerdukan suaranya
sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala dalam surat Al-Ahzab di
atas. Dia dibolehkan hanya berbicara
seperlunya, tanpa berpanjang kata
melebihi keperluan semula.
 
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata dalam tafsirnya: "Makna
dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara
dengan laki-laki yang bukan
mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni
tidak seperti suaranya
ketika berbicara dengan suaminya."
(Tafsir Ibnu Katsir, 3/491).
 
Maksud penyakit dalam ayat ini adalah
syahwat (nafsu/keinginan)
berzina yang kadang-kadang bertambah
kuat dalam hati ketika mendengar
suara lembut seorang wanita atau ketika
mendengar ucapan sepasang
suami istri, atau yang semisalnya.
 
Suara wanita di radio
dan telepon
 
Asy Syaikh Muhammad Shalih Al 'Utsaimin
rahimahullah pernah ditanya:
"Bolehkah seorang wanita berprofesi
sebagai penyiar radio, di mana ia
memperdengarkan suaranya kepada laki-laki
yang bukan mahramnya? Apakah
seorang laki-laki boleh berbicara dengan
wanita melalui pesawat
telepon atau secara langsung?"
Asy Syaikh menjawab: "Apabila seorang wanita
bekerja di stasiun radio
maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath
(bercampur baur) dengan kaum
lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja
dengan seorang laki-laki di
ruang siaran. Yang seperti ini tidak
diragukan lagi kemungkaran dan
keharamannya. Telah jelas sabda Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
"Jangan sekali-kali seorang laki-laki
berduaan dengan seorang wanita."
 
Ikhtilath yang seperti ini selamanya
tidak akan dihalalkan. Terlebih
lagi seorang wanita yang bekerja sebagai
penyiar radio tentunya
berusaha untuk menghiasi suaranya agar
dapat memikat dan menarik. Yang
demikian inipun merupakan bencana yang
wajib dihindari disebabkan akan
timbulnya fitnah.
 
Adapun mendengar suara wanita melalui
telepon maka hal tersebut
tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk
berbicara dengan wanita
melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan
adalah berlezat-lezat
(menikmati) suara tersebut atau terus-menerus
berbincang-bincang
dengan wanita karena ingin menikmati
suaranya. Seperti inilah yang
diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi
kabar atau meminta fatwa
mengenai suatu permasalahan tertentu,
atau tujuan lain yang
semisalnya, maka hal ini diperbolehkan.
Akan tetapi apabila timbul
sikap-sikap lunak dan lemah-lembut,
maka bergeser menjadi haram.
Walaupun seandainya tidak terjadi
yang demikian ini, namun tanpa
sepengetahuan si wanita, laki-laki yang
mengajaknya bicara ternyata
menikmati dan berlezat-lezat dengan
suaranya, maka haram bagi
laki-laki tersebut dan wanita itu tidak
boleh melanjutkan
pembicaraannya seketika ia menyadarinya.
 
Sedangkan mengajak bicara wanita secara
langsung maka tidak menjadi
masalah, dengan syarat wanita tersebut
berhijab dan aman dari fitnah.
Misalnya wanita yang diajak bicara itu
adalah orang yang telah
dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya
(kakak/adik ipar), atau
anak perempuan pamannya dan yang semisal
mereka." (Fatawa Al Mar'ah Al
Muslimah, 1/433-434).
 
Syaikh 'Abdullah bin 'Abdirrahman Al Jibrin
menambahkan dalam fatwanya
tentang permasalahan ini: "Wajib bagi
wanita untuk bicara seperlunya
melalui telepon, sama saja apakah dia
yang memulai menelepon atau ia
hanya menjawab orang yang menghubunginya
lewat telepon, karena ia
dalam keadaan terpaksa dan ada faidah
yang didapatkan bagi kedua belah
pihak di mana keperluan bisa tersampaikan
padahal tempat saling
berjauhan dan terjaga dari pembicaraan
yang mendalam di luar kebutuhan
dan terjaga dari perkara yang menyebabkan
bergeloranya syahwat salah
satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih
utama adalah
meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan
yang sangat mendesak."
(Fatawa Al Mar`ah, 1/435)
 
Laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita
yang telah dipinangnya
 
Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang
laki-laki telah
meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan
mereka telah
teranggap setengah resmi sehingga apa yang
sebelumnya tidak
diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang
paling mudah adalah
masalah pembicaraan antara keduanya secara
langsung ataupun lewat
telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya
dengan mendayu-dayu karena
menganggap sedang berbincang dengan calon
suaminya, orang yang bakal
menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga
demikian, menyapa dengan
penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah
seorang laki-laki yang
penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana
timbangan syariat dalam
permasalahan ini?
 
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
menjawab:" Tidak apa-apa
seorang laki-laki berbicara lewat telepon
dengan wanita yang telah
dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila
memang pinangannya (khitbah)
telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan
untuk saling memberikan
pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak
ada fitnah di dalamnya. Namun
bila keperluan yang ada disampaikan lewat
wali si wanita maka itu
lebih baik dan lebih jauh dari fitnah.
Adapun pembicaraan antara
laki-laki dan wanita, antara pemuda dan
pemudi, sekedar perkenalan
(ta'aruf) –kata mereka- sementara belum
ada khithbah di antara
mereka,
maka ini perbuatan yang mungkar dan haram,
mengajak kepada fitnah dan
menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah
Subhanahu Wa Ta'ala telah
berfirman:
"Maka janganlah kalian merendahkan suara
dalam berbicara sehingga
berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit
dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang ma'ruf." (Al-Ahzab: 32)
(Fatawa Al Mar'ah,
2/605) ?
 
(Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh
Muhammad bin Shalih Al
'Utsaimin, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah
Al Fauzan dan Asy
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin
oleh Ummu Ishaq Al Atsariyah dan Ummu 'Affan
Nafisah bintu Abi Salim).

0 comments:

wanabdbaith. Powered by Blogger.

Visitor

free counters